Senin, 12 Oktober 2015

CARA MENGHITUNG PAJAK (MATERI TERBARU)

1.    Cara Menghitung Pajak
Sistem perpajakan adalah cara yang digunakan oleh pemerintah untuk memungut atau menarik pajak dari rakyat dalam rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya.
Sedangkan Subjek pajak adalah pihakpihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan pajak dan yang dimaksud dengan objek pajak yaitu sesuatu yang dikenakan pajak atau dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak.
Sistem Perpajakan di Indonesia diatur sebagai berikut :
a.          Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang ini berisi Sebelas bab, yaitu :
1.       Bab I Tentang Pengertian dasar yang berkaitan dengan Pajak dan Perhitungan pajak.
2.       Bab II Tentang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Surat Pemberitahuan dan Tata Cara Pembayaran Pajak.
3.       Bab III tentang Penetapan dan Ketetapan Pajak
4.       Bab IV tentang Penagihan Pajak
5.       Bab V tentang Keberatan dan Banding
6.       Bab VI tentang Pembukuan dan Pemeriksaan
7.       Bab VII tentang Ketentuan Khusus
8.       Bab VIII tentang Ketentuan Pidana
9.       Bab IX tentang Penyidikan
10.    Bab X tentang Ketentuan Peralihan
11.    Bab XI tentang Ketentuan Penutup

b.         Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan (subyek pajak) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Sedangkan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun

Besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan PKP (Penghasilan Kena Pajak) dan PKP = Penghasilan persih pertahun – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 36 tahun 2008, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, dan berdasarkan Peraturan Meneri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), tertanggal 8 Juli 2015, yaitu:
1)       Untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) pertahun atau Rp 3.000.000,00 perbulan
2)       Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) pertahun atau Rp 250.000,00 perbulan
3)       Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) sebesar Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) pertahun atau Rp 3.000.000,00 perbulan, dan
4)       Tambahan untuk setiap anggota keluarga  sedarah  dan  keluarga  semenda  dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) pertahun atau Rp 250.000,00 perbulan
Ketentuan atau Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015

Secara terperinci besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dapat disajikan berikut ini :
No
Status
Jumlah
1
WP Tidak Kawin + 0 Tanggungan (TK/0)
Rp 36.000.000,00
2
WP Tidak Kawin + 1 Tanggungan (TK/1)
Rp 39.000.000,00
3
WP Tidak Kawin + 2 Tanggungan (TK/2)
Rp 42.000.000,00
4
WP Tidak Kawin + 3 Tanggungan (TK/3)
Rp 45.000.000,00
5
WP Kawin + 0 Tanggungan (K/0)
Rp 39.000.000,00
6
WP Kawin + 1 Tanggungan (K/1)
Rp 42.000.000,00
7
WP Kawin + 2 Tanggungan (K/2)
Rp 45.000.000,00
8
WP Kawin + 3 Tanggungan (K/3)
Rp 48.000.000,00
9
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 0 Tanggungan (K/I/0)
Rp 72.000.000,00
10
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 1 Tanggungan (K/I/1)
Rp 75.000.000,00
11
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 2 Tanggungan (K/I/2)
Rp 78.000.000,00
12
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 3 Tanggungan (K/I/3)
Rp 81.000.000,00


Tarif Pajak Penghasilan
1)       Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri adalah :
No.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Ber NPWP
Tidak ber NPWP
1.
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
5 %
6 %
2.
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00
15 %
18 %
3.
Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00
25 %
30 %
4.
Di atas Rp 500.000.000,00
30 %
36 %
Keterangan :
Bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dikenakan tarif 20% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 17

Contoh 1 :
Penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi, Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000,00. Maka Pajak Penghasilan yang terutang:
5%   x Rp  50.000.000,00    = Rp    2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp  30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00 = Rp  62.500.000,00
30% x Rp 100.000.000,00 = Rp  30.000.000,00 (+)
                                Jumlah Pajak terutang         = Rp125.000.000,00

Contoh 2 :
Pak Chandra sebagai karyawan di sebuah Perusahaan, penghasilan neto setiap bulannya Rp 10.000.000,00. Pak Chandra sudah beristeri tidak bekerja dan mempunyai 4 anak.
Berapakah pajak terutang setiap bulannya ?
Jawab:
Penghasilan neto 12 bulan x Rp 10.000.000,00             = Rp 120.000.000,00
PTKP       -  wajib pajak                         Rp 36.000.000,00
                                        -  isteri                                    Rp   3.000.000,00
                        -  anak (maks 3)                   
3 x Rp 3.000.000,00            Rp   9.000.000,00 +
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                = Rp   48.000.000,00 -
                                                Penghasilan Kena Pajak (PKP)                                            = Rp   72.000.000,00
                                                                                                                                                   ===============
Jadi, PPh terutang pertahun :
5%   x Rp 50.000.000,00     = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 22.000.000,00    = Rp 3.300.000,00 +
                                                                                        = Rp 5.800.000,00
                                                                                           =============
Pajak penghasilan perbulan = Rp 5.800.000,00 : 12 = Rp 483.333,33

a.        Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah : 28% (dua puluh delapan persen) pada tahun 2009 dan 25%  (dua  puluh  lima  persen)  yang  mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 dengan diskon 50% untuk penghasilan kena pajak kurang dari Rp 50 milyar
Contoh :
Koperasi Unit Desa “gonjang ganjing” bergerak dibidang simpan pinjam. Pada tahun 2010 memiliki penerimaan bruto dalam setahun sebesar Rp 500.000.000,- dan seluruh biaya-biaya yang berkaitan dengan usaha (sesuai ketentuan perpajakan) sebesar Rp 425.000.000
Perhitungan pajak penghasilan sebagai berikut :
       Peredaran usaha/ penjualan                     : Rp 500.000.000
       Harga Pokok Penjualan                               : Rp                       0
       Laba usaha                                                    : Rp 500.000.000
       Beban usaha                                                 : Rp 425.000.000
       Penghasilan neto                                         : Rp   75.000.000
       Penghasilan/beban luar usaha                  : Rp                      0
       Penghasilan Kena Pajak                              : Rp   75.000.000
  ============
Pajak Penghasilan   =  25% x 50% x Rp 75.000.000 = Rp 9.375.000,00

Sehubungan dengan wajib pajak badan juga diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
a.       Peredaran Bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya
b.       Objek Pajaknya adalah Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak, serta besarnya Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet)
c.        Jenis usaha yang dikenakan atas peraturan ini diantaranya usaha dagang, industri, dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, dan usaha lainnya. 
d.       Subjek Pajaknya adalah Orang pribadi dan Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

c.       Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Pengertian
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak  atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah barang kena pajak atau jasa kena pajak , kecuali ditentukan lain oleh UU PPN

Tarif PPN dan PPn BM
Menurut Pasal 7 UU nomor 42 tahun 2009, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
(1)     Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2)     Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a.        ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.       ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c.        ekspor Jasa Kena Pajak.
(3)     Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), menurut Pasal 8, adalah:
(1)     Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 200% (dua ratus persen).
(2)     Ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)     Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
(4)     Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

d.         Pajak Bumi dan Bangunan (UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah/PDRD Pasal 77 sampai dengan Pasal 81)
1.          Pengertian
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 pada bulan September 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Atas dasar tersebut pemerintah mengalihkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan(PBB-P2) menjadi Pajak Daerah.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Mulai tanggal 1 Januari 2014 PBB Perdesaan dan Perkotaan merupakan Pajak Daerah Kabupaten/ Kota. Sedangkan untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.

2.          Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atasBangunan. Dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

3.          Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Berdasarkan Pasal 77 UU Nomor 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Dan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalam dan/atau laut.
Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah: jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut; jalan tol; kolam renang; pagar mewah; tempat olahraga; galangan kapal, dermaga; taman mewah; tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan menara.

Sedangkan Berdasarkan pasal 77 ayat 3 UU Nomor 28 tahun 2009 dijelaskan bahwa Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
1)         digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
2)         digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; misalnya untuk kepentingan masjid, gereja, vihara, rumah sakit,  pesantren/madrasah, panti asuhan, museum, candi dan sebagainya
3)         digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
4)         merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
5)         digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
6)         digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Misalnya untuk PBB, ASEAN, dan lain-lain

4.          Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Berdasarkan pasal 80 UU nomor 28 tahun 2009 Tarif PBB-P2 yang dikenakan pada obyek pajak adalah paling tinggi 0,3% dari nilai jual obyek kena pajak dan Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan DaerahBesarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Sedangkan Dasar pengenaan PBB-P2 antara lain :
1.          Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2.          Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya dan Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.
3.          Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

Jadi Besarnya PBB-P2 dapat dihitung dengan rumus :

PBB = Tarif x (NJOP – NJOPTKP)

Contoh :
Tuan Fatah memiliki Objek pajak yang berkaitan dengan tanah dan bangunan : Tanah seluas 400 m2 dengan Nilai Jualnya Rp 500.000,00 per m2, Rumah seluas 300 m2 dengan Nilai jualnya Rp 600.000,00 per m2. Hitunglah besarnya PBB yang terutang jika diketahui besarnya NJOPTKP Rp 10.000.000,00 dan tarif yang dikenakan sebesar 0,1%.
Jawab :
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Tanah :       400 x Rp 500.000,00                                           = Rp 200.000.000,00
Bangunan : 300 x Rp 600.000,00                                         = Rp 180.000.000,00 +
                                                                                                    = Rp 380.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak                                = Rp   10.000.000,00
NJOP untuk Penghitungan PBB                                             = Rp 370.000.000,00
                                                                                                       ===============
PBB Terutang = 0,1% x Rp 370.000.000,00 = Rp 370.000,00

e.         Peraturan pemerintah RI Nomor 24 tahun 2000 Tentang Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kuitansi pembayaran, surat berharga dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, besarnya bea meterai sebagai berikut:
a.        Surat perjanjian, akta notaris, akta PPAT, surat lamaran sebesar Rp 6.000,00
b.       Dokumen nominal Rp 250.000,00 – Rp 1.000.000,00  sebesar Rp 3.000,00
Lebih dari Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 6.000,00
c.        Cek dan bilyet giro sebesar Rp 3.000,00

2.    Tantangan pemungutan pajak
Peran vital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi yang diamanahi tugas penghimpun penerimaan negara harus berhadapan dengan realita masih rendahnya kesadaran partisipasi masyarakat mengenai perpajakan, artinya belum sebanding antara besarnya jumlah penduduk dengan Wajib Pajak yang masih rendah. Padahal penerimaan pajak banyak dialokasikan untuk fasilitas umum yang banyak dinikmati oleh seluruh jumlah penduduk.
Terkadang, masyarakat banyak yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan karena mereka enggan berurusan dengan pajak, tapi justru karena mereka belum paham dan kebingungan ihwal apa yang harus mereka lakukan terkait kewajiban perpajakan. Dan ada banyak sekali masyarakat yang berpenghasilan diatas Panghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp. 36 Juta/ Tahun yang dapat menjadi target sosialisasi. Menilik kepada situasi ini, sosialiasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus kian gencar dijalankan hingga ke jajaran yang terdekat dengan masyarakat serta dengan melibatkan unsur pemerintahan lokal sebagai pendukung. Sosialisasi secara umum dapat dibedakan menjadi sosialisasi langsung kepada sasaran dan ada juga dengan cara yang kooperatif positif. Cara yang kedua ini adalah dengan menjadikan NPWP sebagai unsur pokok setiap pemenuhan kewajiban administratif publik yang dilakukan masyarakat. Sehingga masyarakat akan tergerak untuk mendaftarkan diri mendapatkan NPWP. Khususnya mereka yang berpenghasilan bersih di atas PTKP.
Secara garis besar tantangan pemungutan pajak diantaranya :
a.        Rendahnya penerimaan pajak
b.        Masih rendahnya/sedikitnya badan usaha atau perusahaan yang menyerahkan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan tentang pajak yang terutang)
c.        Ketidakmampuan pemerintah dalam mendata dan memungut pajak
d.        Penyelewengan pajak yang dilakukan oleh oknum pemerintahan
e.        Rendahnya Partisipasi masyarakat dalam membayar pajak
f.         Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dan penggunaan pajak
g.        Perlunya peningkatkan Kesadaran wajib pajak dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak
h.        Kebijakan pajak yang mengedepankan sisi penerimaan dan kurang memperhatikan sisi pembelanjaan
i.          Perlunya peningkatan layanan dan fasilitas yang memadai sebagai balasan dalam pembayaran pajak
j.          Pajak masih dikelola oleh birokrasi yang tertutup, korup, elitis dan tehnokratif
k.        Kebijakan pajak yang masih timpang artinya mereka masyarakat yang miskin membayar pajak yang lebih besar dari pada yang kaya
l.          Upaya reformasi perpajakan, artinya pajak harus lebih transparan dan bertanggung jawab
m.      Pajak harus jadi instrument pertumbuhan dan keadilan
n.        Orang super kaya harus dikenai pajak yang lebih tinggi

o.        Perlunya peningkatan dalam pembayaran pajak dan pengawasan pajak, karena uang pajak adalah uang kita bersama