1. Cara
Menghitung Pajak
Sistem perpajakan adalah cara yang digunakan oleh
pemerintah untuk memungut atau menarik pajak dari rakyat dalam rangka membiayai
pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya.
Sedangkan Subjek pajak adalah
pihak – pihak
(orang maupun
badan) yang akan dikenakan
pajak dan
yang dimaksud dengan objek
pajak yaitu
sesuatu yang dikenakan pajak
atau dapat
diartikan sebagai sasaran
pengenaan pajak.
Sistem Perpajakan di Indonesia diatur sebagai berikut :
a.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang ini berisi Sebelas bab, yaitu :
1.
Bab I Tentang
Pengertian dasar yang berkaitan dengan Pajak dan Perhitungan pajak.
2.
Bab II
Tentang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Surat
Pemberitahuan dan Tata Cara Pembayaran Pajak.
3.
Bab III
tentang Penetapan dan Ketetapan Pajak
4.
Bab IV
tentang Penagihan Pajak
5.
Bab V tentang
Keberatan dan Banding
6.
Bab VI
tentang Pembukuan dan Pemeriksaan
7.
Bab VII
tentang Ketentuan Khusus
8.
Bab VIII
tentang Ketentuan Pidana
9.
Bab IX
tentang Penyidikan
10.
Bab X tentang
Ketentuan Peralihan
11.
Bab XI
tentang Ketentuan Penutup
b.
Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
Pengertian
Pajak
Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan (subyek
pajak) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak.
Sedangkan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak
yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun
Besarnya
Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan PKP (Penghasilan Kena Pajak) dan PKP
= Penghasilan persih pertahun – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 36 tahun 2008, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak, dan berdasarkan Peraturan Meneri Keuangan Nomor
122/PMK.010/2015 Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),
tertanggal 8 Juli 2015, yaitu:
1)
Untuk diri
Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah) pertahun atau Rp 3.000.000,00 perbulan
2)
Tambahan untuk
Wajib Pajak yang kawin sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) pertahun atau Rp 250.000,00 perbulan
3)
Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) sebesar Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah) pertahun atau Rp 3.000.000,00 perbulan,
dan
4)
Tambahan untuk
setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) pertahun atau Rp 250.000,00 perbulan
Ketentuan atau Peraturan
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015
Secara terperinci besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak dapat disajikan berikut ini :
No
|
Status
|
Jumlah
|
1
|
WP Tidak Kawin + 0 Tanggungan (TK/0)
|
Rp
36.000.000,00
|
2
|
WP Tidak Kawin + 1 Tanggungan (TK/1)
|
Rp
39.000.000,00
|
3
|
WP Tidak Kawin + 2 Tanggungan (TK/2)
|
Rp
42.000.000,00
|
4
|
WP Tidak Kawin + 3 Tanggungan (TK/3)
|
Rp
45.000.000,00
|
5
|
WP Kawin + 0 Tanggungan (K/0)
|
Rp
39.000.000,00
|
6
|
WP Kawin + 1 Tanggungan (K/1)
|
Rp
42.000.000,00
|
7
|
WP Kawin + 2 Tanggungan (K/2)
|
Rp
45.000.000,00
|
8
|
WP Kawin + 3 Tanggungan (K/3)
|
Rp
48.000.000,00
|
9
|
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 0 Tanggungan
(K/I/0)
|
Rp
72.000.000,00
|
10
|
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 1 Tanggungan
(K/I/1)
|
Rp
75.000.000,00
|
11
|
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 2 Tanggungan
(K/I/2)
|
Rp
78.000.000,00
|
12
|
WP Kawin + Penghasilan Istri digabung + 3 Tanggungan
(K/I/3)
|
Rp
81.000.000,00
|
Tarif
Pajak Penghasilan
1)
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri adalah :
No.
|
Lapisan Penghasilan Kena
Pajak
|
Tarif Pajak
|
|
Ber NPWP
|
Tidak ber NPWP
|
||
1.
|
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
|
5 %
|
6 %
|
2.
|
Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp
250.000.000,00
|
15 %
|
18 %
|
3.
|
Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp
500.000.000,00
|
25 %
|
30 %
|
4.
|
Di atas Rp 500.000.000,00
|
30 %
|
36 %
|
Keterangan :
Bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dikenakan tarif 20% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal
17
Contoh
1 :
Penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi,
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000,00. Maka Pajak Penghasilan yang
terutang:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 =
Rp 30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00 =
Rp 62.500.000,00
30% x Rp 100.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 (+)
Jumlah
Pajak terutang = Rp125.000.000,00
Contoh 2 :
Pak
Chandra sebagai karyawan di sebuah Perusahaan, penghasilan neto setiap bulannya
Rp 10.000.000,00. Pak Chandra sudah
beristeri tidak bekerja dan mempunyai 4 anak.
Berapakah
pajak terutang setiap bulannya ?
Jawab:
Penghasilan
neto 12 bulan x Rp 10.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
PTKP -
wajib pajak Rp
36.000.000,00
- isteri Rp 3.000.000,00
- anak (maks 3)
3
x Rp 3.000.000,00 Rp 9.000.000,00 +
=
Rp 48.000.000,00 -
Penghasilan
Kena Pajak (PKP) =
Rp 72.000.000,00
===============
Jadi, PPh terutang pertahun :
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 22.000.000,00 =
Rp 3.300.000,00 +
=
Rp 5.800.000,00
=============
Pajak penghasilan perbulan = Rp 5.800.000,00 : 12 = Rp 483.333,33
a.
Wajib pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap adalah : 28% (dua puluh delapan persen) pada tahun 2009 dan
25% (dua
puluh
lima
persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 dengan diskon 50% untuk penghasilan kena pajak kurang
dari Rp 50 milyar
Contoh :
Koperasi Unit Desa “gonjang ganjing” bergerak
dibidang simpan pinjam. Pada tahun 2010 memiliki penerimaan bruto dalam setahun
sebesar Rp 500.000.000,- dan seluruh biaya-biaya yang berkaitan dengan usaha
(sesuai ketentuan perpajakan) sebesar Rp 425.000.000
Perhitungan pajak penghasilan sebagai berikut :
•
Peredaran usaha/ penjualan : Rp 500.000.000
•
Harga Pokok Penjualan :
Rp 0 –
•
Laba usaha :
Rp 500.000.000
•
Beban usaha :
Rp 425.000.000 –
•
Penghasilan neto :
Rp 75.000.000
•
Penghasilan/beban luar usaha :
Rp 0 –
•
Penghasilan Kena Pajak : Rp 75.000.000
============
Pajak
Penghasilan = 25% x 50% x Rp 75.000.000 = Rp 9.375.000,00
Sehubungan dengan wajib pajak badan juga diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu
a.
Peredaran
Bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/outlet
atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya
b.
Objek Pajaknya adalah Penghasilan
dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran
bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam
1 tahun pajak, serta besarnya Pajak
yang terutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet)
c.
Jenis usaha
yang dikenakan atas peraturan ini diantaranya usaha
dagang, industri, dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los kelontong, pakaian,
elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, dan usaha
lainnya.
d.
Subjek Pajaknya adalah Orang pribadi dan Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha
Tetap (BUT), yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto
(omzet) yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Pengertian
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena
pajak atau jasa kena pajak di dalam
daerah pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang pribadi, perusahaan, maupun
pemerintah yang mengkonsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak dikenakan
PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah barang kena pajak atau jasa
kena pajak , kecuali ditentukan lain oleh UU PPN
Tarif PPN dan PPn BM
Menurut Pasal 7 UU nomor 42 tahun 2009,
tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
(1) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan
Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c.
ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), menurut Pasal 8, adalah:
(1)
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 200% (dua ratus persen).
(2)
Ekspor
barang kena pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
(4)
Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
d.
Pajak Bumi dan Bangunan (UU nomor
28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah/PDRD Pasal 77 sampai
dengan Pasal 81)
1.
Pengertian
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2009 pada bulan September 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD). Atas dasar tersebut pemerintah mengalihkan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pengalihan Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan(PBB-P2) menjadi Pajak Daerah.
Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Mulai tanggal 1 Januari 2014 PBB Perdesaan dan Perkotaan merupakan Pajak Daerah
Kabupaten/ Kota. Sedangkan untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.
2.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atasBangunan. Dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
3.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Berdasarkan Pasal 77 UU Nomor 28 tahun 2009 disebutkan bahwa
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau
Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Dan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalam dan/atau laut.
Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah: jalan lingkungan
yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
jalan tol; kolam renang; pagar mewah; tempat olahraga; galangan kapal, dermaga;
taman mewah; tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
menara.
Sedangkan
Berdasarkan pasal 77 ayat 3 UU Nomor 28 tahun 2009 dijelaskan bahwa Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
1)
digunakan
oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
2)
digunakan
semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan; misalnya untuk kepentingan masjid, gereja, vihara, rumah sakit, pesantren/madrasah, panti asuhan, museum,
candi dan sebagainya
3)
digunakan
untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
4)
merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak;
5)
digunakan
oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik; dan
6)
digunakan
oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Misalnya untuk PBB, ASEAN, dan lain-lain
4.
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Berdasarkan pasal 80 UU nomor 28 tahun 2009
Tarif PBB-P2 yang dikenakan pada obyek pajak adalah paling tinggi 0,3% dari
nilai jual obyek kena pajak dan Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dan Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Sedangkan
Dasar pengenaan PBB-P2 antara lain :
1.
Dasar
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP).
2.
Besarnya
NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat
ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya dan Penetapan
besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.
3.
Besaran
pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
dalam setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Jadi Besarnya PBB-P2 dapat dihitung dengan rumus :
PBB = Tarif x (NJOP –
NJOPTKP)
|
Contoh :
Tuan Fatah memiliki Objek pajak yang berkaitan dengan tanah
dan bangunan : Tanah seluas 400 m2 dengan Nilai Jualnya Rp
500.000,00 per m2, Rumah seluas 300 m2 dengan Nilai
jualnya Rp 600.000,00 per m2. Hitunglah besarnya PBB yang terutang
jika diketahui besarnya NJOPTKP Rp 10.000.000,00 dan tarif yang dikenakan
sebesar 0,1%.
Jawab :
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Tanah : 400 x Rp
500.000,00 =
Rp 200.000.000,00
Bangunan : 300 x Rp 600.000,00 =
Rp 180.000.000,00 +
=
Rp 380.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000,00 –
NJOP untuk Penghitungan PBB =
Rp 370.000.000,00
===============
PBB Terutang = 0,1% x Rp 370.000.000,00 = Rp 370.000,00
e.
Peraturan
pemerintah RI Nomor 24 tahun 2000 Tentang Bea Meterai
Bea
Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaris, serta kuitansi pembayaran, surat berharga dan efek,
yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, besarnya bea meterai sebagai
berikut:
a.
Surat
perjanjian, akta notaris, akta PPAT, surat lamaran sebesar Rp 6.000,00
b.
Dokumen
nominal Rp 250.000,00 – Rp 1.000.000,00
sebesar Rp 3.000,00
Lebih dari Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 6.000,00
c.
Cek dan
bilyet giro sebesar Rp 3.000,00
2. Tantangan pemungutan pajak
Peran vital Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) sebagai instansi yang diamanahi tugas penghimpun penerimaan negara
harus berhadapan dengan realita masih rendahnya kesadaran partisipasi
masyarakat mengenai perpajakan, artinya belum sebanding antara besarnya jumlah
penduduk dengan Wajib Pajak yang masih rendah. Padahal penerimaan pajak banyak
dialokasikan untuk fasilitas umum yang banyak dinikmati oleh seluruh jumlah
penduduk.
Terkadang, masyarakat banyak yang
belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan karena mereka enggan
berurusan dengan pajak, tapi justru karena mereka belum paham dan kebingungan
ihwal apa yang harus mereka lakukan terkait kewajiban perpajakan. Dan ada
banyak sekali masyarakat yang berpenghasilan diatas Panghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) Rp. 36 Juta/ Tahun yang dapat menjadi target sosialisasi. Menilik
kepada situasi ini, sosialiasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus kian
gencar dijalankan hingga ke jajaran yang terdekat dengan masyarakat serta
dengan melibatkan unsur pemerintahan lokal sebagai pendukung. Sosialisasi
secara umum dapat dibedakan menjadi sosialisasi langsung kepada sasaran dan ada
juga dengan cara yang kooperatif positif. Cara yang kedua ini adalah dengan
menjadikan NPWP sebagai unsur pokok setiap pemenuhan kewajiban administratif
publik yang dilakukan masyarakat. Sehingga masyarakat akan tergerak untuk
mendaftarkan diri mendapatkan NPWP. Khususnya mereka yang berpenghasilan bersih
di atas PTKP.
Secara
garis besar tantangan pemungutan pajak diantaranya :
a.
Rendahnya penerimaan pajak
b.
Masih rendahnya/sedikitnya badan usaha atau perusahaan yang
menyerahkan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan tentang pajak yang terutang)
c.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mendata dan memungut pajak
d.
Penyelewengan pajak yang dilakukan oleh oknum pemerintahan
e.
Rendahnya Partisipasi masyarakat dalam membayar pajak
f.
Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dan
penggunaan pajak
g.
Perlunya peningkatkan Kesadaran wajib pajak dan akuntabilitas
dalam pengelolaan pajak
h.
Kebijakan pajak yang mengedepankan sisi penerimaan dan kurang
memperhatikan sisi pembelanjaan
i.
Perlunya peningkatan layanan dan fasilitas yang memadai sebagai
balasan dalam pembayaran pajak
j.
Pajak masih dikelola oleh birokrasi yang tertutup, korup, elitis
dan tehnokratif
k.
Kebijakan pajak yang masih timpang artinya mereka masyarakat yang
miskin membayar pajak yang lebih besar dari pada yang kaya
l.
Upaya reformasi perpajakan, artinya pajak harus lebih transparan
dan bertanggung jawab
m. Pajak
harus jadi instrument pertumbuhan dan keadilan
n.
Orang super kaya harus dikenai pajak yang lebih tinggi
o.
Perlunya peningkatan dalam pembayaran pajak dan pengawasan pajak,
karena uang pajak adalah uang kita bersama